Jaranan,
Kesenian Jawa yang Tak Lekang oleh Zaman
Kamis,
6 Desember 2012 12:23 wib
Ilustrasi
tarian kuda lumping (Foto: Koran SI)
JOMBANG-
Sejumlah pemain seni tradisional jaranan mengikuti iringan alat musik gamelan.
Tak berapa lama, mereka jatuh menggelepar sambil tetap mengapit kuda lumping di
antara kaki. Pelan-pelan mereka bangkit. Mata mereka merah sambil sesekali
mendelik hingga hanya terlihat putihnya saja.
Musik
gamelan yang semula mengalun pelan, kini menjadi rancak, bersamaan dengan para
penari jaranan yang kehilangan kesadarannya. Mereka menari sambil
berputar-putar tak beraturan.
Mendadak,
mereka menyerang para penonton yang berdiri melingkar menyaksikan pertunjukan
acara bersih desa di halaman kantor Kepala Desa Tunggorono, Kecamatan Jombang,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Akibatnya, ratusan penonton pun kocar-kacir
menyelamatkan diri.
Dalam
seni tradisional jaranan, kesurupan atau kehilangkan kesadaran pemain merupakan
bagian utama dari atraksi sehingga wajib ditampilkan. Namun bila yang mengalami
kesurupan terlalu banyak, sang pawang akan kewalahan dan membuat para penonton
lari tunggang langgang.
Seni
jaranan merupakan salah satu seni tradisional masyarakat Jawa. Berdasarkan
sejarahnya, jaranan muncul kali pertama sekira 1041 Masehi atau pada masa
Kerajaan Panjalu (Kediri) yang pada masa itu dipimpin Raja Airlangga.
Seni
jaranan muncul setelah Dewi Sangga Langit, putri Raja Airlangga, hendak
dipersunting sejumlah tokoh dari kerajaan-kerajaan tetangga.
Untuk
menentukan pelamar yang akan diterima, Dewi Sangga Langit membuat sayembara.
Pelamar yang diterima menjadi suaminya harus mampu menciptakan kesenian yang
belum pernah ada di tanah Jawa.
Sejumlah
pangeran dari kerajaan tetangga pun ikut dalam sayembara tersebut. Hingga tiba
giliran Klana Sewandana dari Kerajaan Wengker yang menampilkan jaranan.
Para penari bertopeng naga yang
kehilangan kesadaran sambil menunggangi kuda lumping ternyata mampu menarik
perhatian Sang Putri.
Sejak
itulah seni jaranan yang identik dengan tari kuda lumping itu bertahan hingga
saat ini.Bukan hal mudah untuk melestarikan jaranan. Agar tetap disukai
masyarakat, seniman seringkali mengolaborasikannya dengan atraksi-atraksi
debus, seperti makan bunga, beling, atau menelan ular hidup.
Seperti
disampaikan salah seorang seniman, Sugeng, dia sengaja menggunakan cara itu
agar jaranan tidak kalah dan tergerus oleh budaya asing. Sugeng yakin, jaranan
bisa terus bertahan karena memiliki penggemar tersendiri.
Hingga
saat ini Sugeng beserta seniman lainnya masih sering tampil di berbagai acara
rata-rata lima sampai tujuh kali per bulan. (tbn)
0 komentar:
Posting Komentar