Mengenal Budaya Suku Baduy, Indonesia
Perkembangan jaman yang semakin maju dengan segala macam atribut tekhnologi canggih yang menyertainya, ternyata tidak mampu mengusik eksistansi suku baduy untuk tetap memegang teguh adat istiadat yang telah diwariskan oleh para leluhurnya hingga sampai detik ini. Baduy, atau lebih dikenal dengan sebutan masyarakat kanekes, adalah suatu kelompok masyarakat adat sunda yang tinggal di pedalaman Jawa barat, lebih tepatnya desa kanekes, sebuah desa di kaki pegunungan Kendeng, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkas bitung, Banten.
Sungguh hal yang sangat luar biasa apabila kita berbicara tentang prinsip dan pedoman yang diterapkan oleh masyarakat suku baduy, yang lebih memilih untuk tetap terisolasi dari dunia luar dan berpegang teguh dengan pola hidup yang sederhana dan tradisional. Betapa tidak, Banten adalah ibukota provinsi Jawa barat, dan letaknya tidak jauh dari jantung ibukota negara Indonesia, Jakarta, yang identik dengan sebutan kota megapolitan.
Masyarakat Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Secara umum, suku baduy terbagi menjadi tiga kelompok, yakni Tangtu, Panamping, dan Dangka. Ketiga suku tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain dalam hal penerapan adat istiadat.
1. Kanekes Tangtu ( Baduy Dalam ) adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
- Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
- Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
- Larangan menggunakan alat elektronik ( samasekali tak tersentuh teknologi)
- Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
- Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam
- Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
- Menikah dengan anggota Kanekes Luar
- Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
- Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
- Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
- Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pendek heunteu beunang
disambung.(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak
bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara
harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan
tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya
sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat
terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang
diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah
dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali
tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos,
tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan
tawar-menawar.Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
0 komentar:
Posting Komentar